Banyak yang penasaran menanti pengumuman merek susu yang terkontaminasi Enterobacter Sakazakii. Sayang susu yang dipakai penelitian IPB tersebut batal diumumkan, malah BPOM menyampaikan hasil yang berbeda yakni tidak ada susu yang terkontaminasi bakteri tersebut.
Penelitian yang dilakukan Insitut Pertanian Bogor antara tahun 2003-2006 menemukan 22 sampel susu formula yang mengandung bakteri Enterobacter Sakazakii dengan kadar 22,73 persen. Hasil penelitian selama 2003-2006 itu baru dipublikasikan IPB tahun 2008. Sejak itu sebagian masyarakat jadi panik dan penasaran, sebab hingga kini IPB tidak pernah menyebutkan merek apa saja yang terkontaminasi.
Buntut dari penelitian tersebut, menteri kesehatan dituntut oleh konsumen bernama David Tobing yang meminta susu yang tercemar tersebut diumumkan. Gugatan David Tobing menang di Pengadilan dan juga menang di MA. Untuk menindaklanjuti keputusan MA, Menteri Kesehatan memberikan penjelasan pada Kamis ini (10/2/2011).
Alih-alih terjawab rasa penasarannya, Badan Pengawasan Obat dan Makanan dalam jumpa pers di Kementerian Komunikasi dan Informasi, Kamis (10/2/2011) malah mengumumkan hasil penelitian yang bertolak belakang. Menurut BPOM, antara tahun 2008-2011 pihaknya tidak menemukan adanya susu yang tercemar.
Penelitian pertama dilakukan BPOM awal tahun 2008, hasilnya tidak ada satupun dari 96 sampel susu formula yang terkontaminasi Enterobacter Sakazakii. Pada saat itu, standar tentang keberadaan E.Sakazakii memang belum diatur dalam Codex (Standar Internasional Kesehatan Konsumen).
Codex baru menetapkan standar baru bahwa susu formula tidak boleh mengandung E.Sakazakii pada bulan Juli 2008. Sebagai salah astu anggota Codex, Indonesia mengadopsi standar tersebut pada Oktober 2008 dan menjadikannya standar nasional.
Setelah standar baru ditetapkan, BPOM kembali melakukan penelitian terhadap 11 sampel susu formula pada tahun 2009 dan lagi-lagi tidak menemukan sampel yang terkontaminasi. Sedangkan untuk tahun 2011, hingga bulan Februari telah meneliti 18 sampel dan belum juga menemukan ada cemaran E.Sakazakii.
Hasil penelitian BPOM jelas berbeda dengan IPB yang sebelumnya mengatakan ada 22 sampel susu formula yang terkontaminasi. IPB memakai sampel susu antara 2003-2006, sedangkan pemerintah melalui BPOM menggunakan sampel susu tahun 2008-2011.
Perbedaan ini makin memancing rasa ingin tahu, mana di antara keduanya yang lebih bisa dipercaya karena menyangkut keamanan konsumen. Tapi Menteri Kesehatan punya jawabannya.
"Dalam setahun produksi susu terus berjalan dan kadang-kadang langsung beberapa batch. Mungkin saat diteliti ada batch tertentu yang terkontaminasi, lalu dalam penelitian lain yang terambil dalam batch yang lain yang steril," ungkap Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih dalam jumpa pers tersebut.
Lebih lanjut Menkes menambahkan, secara alami E.Sakazakii bisa ditemukan di lingkungan, baik dalam makanan, usus manusia sehat maupun usus beberapa spesies binatang dan tidak semuanya berbahaya. Jenis yang berbahaya bisa memicu diare, infeksi pencernaan bahkan meningitis jika menyerang sistem saraf.
Masih menurut Menkes, kontaminasi E.Sakazakii dalam susu formula bisa terjadi sejak pengolahan bahan baku maupun proses pasteurisasi (pemanasan) yang tidak steril. Selain itu, proses penyiapan sebelum dikonsumsi juga bisa mencemari susu terutama jika tidak cuci tangan dulu dan alat yang dipakai tidak steril.
"Bakteri ini sebenarnya gampang mati, dengan pemanasan 70 derajat celcius saja sudah mati. Selain itu, pastikan cuci tangan sebelum menyiapkan susu dan jangan mengkonsumsi susu yang sudah disiapkan sejak 2 jam sebelumnya. Susu yang sudah disiapkan lebih dari 2 jam harus dibuang dan ganti dengan yang baru," tambah Menkes.
Jadi kesimpulannya menurut pemerintah bisa saja sampel susu yang digunakan dalam penelitian oleh IPB kebetulan adalah susu yang terkontaminasi, tapi dalam beberapa batch lain bakteri itu tidak ada. Menkes juga mengaku tidak bisa memaksa IPB untuk mengumumkan karena IPB tidak punya kewajiban melaporkan hasil penelitian ke Kementerian Kesehatan.
"Penelitian ini dilakukan IPB, sebuah universitas yang kredibel dan punya independensi. Jadi tidak punya kewajiban melaporkan hasil penelitiannya ke Kementerian Kesehatan," kata Menkes.
Sementara hingga kini masyarakat masih penasaran susu apa sih yang digunakan untuk penelitian IPB tahun 2003-2006 tersebut? Hanya penelitinya saja yang tahu.
Penelitian yang dilakukan Insitut Pertanian Bogor antara tahun 2003-2006 menemukan 22 sampel susu formula yang mengandung bakteri Enterobacter Sakazakii dengan kadar 22,73 persen. Hasil penelitian selama 2003-2006 itu baru dipublikasikan IPB tahun 2008. Sejak itu sebagian masyarakat jadi panik dan penasaran, sebab hingga kini IPB tidak pernah menyebutkan merek apa saja yang terkontaminasi.
Buntut dari penelitian tersebut, menteri kesehatan dituntut oleh konsumen bernama David Tobing yang meminta susu yang tercemar tersebut diumumkan. Gugatan David Tobing menang di Pengadilan dan juga menang di MA. Untuk menindaklanjuti keputusan MA, Menteri Kesehatan memberikan penjelasan pada Kamis ini (10/2/2011).
Alih-alih terjawab rasa penasarannya, Badan Pengawasan Obat dan Makanan dalam jumpa pers di Kementerian Komunikasi dan Informasi, Kamis (10/2/2011) malah mengumumkan hasil penelitian yang bertolak belakang. Menurut BPOM, antara tahun 2008-2011 pihaknya tidak menemukan adanya susu yang tercemar.
Penelitian pertama dilakukan BPOM awal tahun 2008, hasilnya tidak ada satupun dari 96 sampel susu formula yang terkontaminasi Enterobacter Sakazakii. Pada saat itu, standar tentang keberadaan E.Sakazakii memang belum diatur dalam Codex (Standar Internasional Kesehatan Konsumen).
Codex baru menetapkan standar baru bahwa susu formula tidak boleh mengandung E.Sakazakii pada bulan Juli 2008. Sebagai salah astu anggota Codex, Indonesia mengadopsi standar tersebut pada Oktober 2008 dan menjadikannya standar nasional.
Setelah standar baru ditetapkan, BPOM kembali melakukan penelitian terhadap 11 sampel susu formula pada tahun 2009 dan lagi-lagi tidak menemukan sampel yang terkontaminasi. Sedangkan untuk tahun 2011, hingga bulan Februari telah meneliti 18 sampel dan belum juga menemukan ada cemaran E.Sakazakii.
Hasil penelitian BPOM jelas berbeda dengan IPB yang sebelumnya mengatakan ada 22 sampel susu formula yang terkontaminasi. IPB memakai sampel susu antara 2003-2006, sedangkan pemerintah melalui BPOM menggunakan sampel susu tahun 2008-2011.
Perbedaan ini makin memancing rasa ingin tahu, mana di antara keduanya yang lebih bisa dipercaya karena menyangkut keamanan konsumen. Tapi Menteri Kesehatan punya jawabannya.
"Dalam setahun produksi susu terus berjalan dan kadang-kadang langsung beberapa batch. Mungkin saat diteliti ada batch tertentu yang terkontaminasi, lalu dalam penelitian lain yang terambil dalam batch yang lain yang steril," ungkap Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih dalam jumpa pers tersebut.
Lebih lanjut Menkes menambahkan, secara alami E.Sakazakii bisa ditemukan di lingkungan, baik dalam makanan, usus manusia sehat maupun usus beberapa spesies binatang dan tidak semuanya berbahaya. Jenis yang berbahaya bisa memicu diare, infeksi pencernaan bahkan meningitis jika menyerang sistem saraf.
Masih menurut Menkes, kontaminasi E.Sakazakii dalam susu formula bisa terjadi sejak pengolahan bahan baku maupun proses pasteurisasi (pemanasan) yang tidak steril. Selain itu, proses penyiapan sebelum dikonsumsi juga bisa mencemari susu terutama jika tidak cuci tangan dulu dan alat yang dipakai tidak steril.
"Bakteri ini sebenarnya gampang mati, dengan pemanasan 70 derajat celcius saja sudah mati. Selain itu, pastikan cuci tangan sebelum menyiapkan susu dan jangan mengkonsumsi susu yang sudah disiapkan sejak 2 jam sebelumnya. Susu yang sudah disiapkan lebih dari 2 jam harus dibuang dan ganti dengan yang baru," tambah Menkes.
Jadi kesimpulannya menurut pemerintah bisa saja sampel susu yang digunakan dalam penelitian oleh IPB kebetulan adalah susu yang terkontaminasi, tapi dalam beberapa batch lain bakteri itu tidak ada. Menkes juga mengaku tidak bisa memaksa IPB untuk mengumumkan karena IPB tidak punya kewajiban melaporkan hasil penelitian ke Kementerian Kesehatan.
"Penelitian ini dilakukan IPB, sebuah universitas yang kredibel dan punya independensi. Jadi tidak punya kewajiban melaporkan hasil penelitiannya ke Kementerian Kesehatan," kata Menkes.
Sementara hingga kini masyarakat masih penasaran susu apa sih yang digunakan untuk penelitian IPB tahun 2003-2006 tersebut? Hanya penelitinya saja yang tahu.
0 komentar:
Posting Komentar